Karya sastra telah ada bersamaan dengan adanya manusia itu sendiri. Karya sastra berkembang dari yang paling sederhana sampai pada taraf yang paling modern sekarang ini. Dulu karya sastra masih bersifat lisan, penyebarannya dari mulut kemulut. Namun seiring dengan perkembangan jaman, karya sastra telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hampir semua media modern dapat digunakan sebagai media ekpresi sastra. Dengan demikian karya sastra pun banyak mengalami transformasi, dari lisan menjadi tulisan kemudian berkembang dengan media audiovideo dan lain sebagainya.
Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan perkembangan karya sastra tersebut. Tetapi lebih pada gambaran keterkaitan antara karya sastra dengan kekuasaan pemerintah. Hal ini dikarenakan kedekatan karya sastra dengan kekuasaan penguasa terutama di pemerintahan yang berbentuk kerajaan (Feodal).
Sastra dan kekuasaan hampir tidak bisa dipisahkan. Di negara terbelakang (kerajaan) sampai negara yang paling maju pun karya sastra sangat erat kaitannya dengan hegemoni penguasa. Di Inggris misalnya, banyak karya sastra atau sastrawan yang dibayar agar membuat karya sastra yang bisa melanggengkan kekuasaan raja. Di Amerika juga demikian, karya sastra yang berupa drama, novel dan yang paling modern film sering dijadikan sebagai alat propaganda politik kaum penguasa tertentu. Tidak berbeda halnya dengan kenyataan di atas, karya sastra yang ada di Indonesia. Gambaran yang ada dalam karya-karya sastrawan Indonesia banyak yang berisi propaganda politik tertentu. Tokoh-tokoh seperti W.S Rendra, Muhammad Yamin, Chairil merupakan sastrawan yang sering menyuarakan kelompok masyarakat tertentu, sebagai upaya mempengaruhi masyarakatnya.
Tidak berbeda dengan sastra Indonesia modern lainnya, sastra lisan juga menjadi bagian dari alat propaganda tersebut. Cerita Nyi Loro Kidul (Penguasa Laut selatan) merupakan bagian dari karya sastra yang digunakan oleh penguasa untuk suatu tujuan politis. Tujuan politis yang dimaksudkan adalah untuk melanggengkan kekuasaan sang raja.
Tidak banyak yang menyadari, bahwa cerita Nyi Loro Kidul merupakan sebuah karya sastra lisan. Cerita ini dibuat oleh seseorang yang dekat dengan kekuasaan raja. Meskipun sampai saat ini tak seorang pun yang tahu siapa yang membuat cerita ini. Karena cerita ini dihubungkan dengan sesuatu yang supranatural, maka masyarakat umumnya mempercayai akan kebenaran cerita ini. Cerita Ratu Laut Selatan akhirnya menjadi mitos terutama di kalangan masyarakat Jogjakarta. Inilah yang menjadikan cerita ini menjadi suatu hegemoni. Sebagaimana dikatakan oleh Pramudia Ananta Toer menyatakan bahwa Raja Jawa Kuno sering menggunakan hal-hal gaib untuk menkut-nakuti orang awam sehingga kediktatoran sang raja tidak digugat (Irwan Ghailan, 2004).
Sebagai upaya meyakinkan masyarakat akan kebenaran Nyi Loro Kidul, pihak keraton selalu mengadakan suatu selamatan di pantai selatan. Kegiatan ini dilakukan supaya masyarakat lebih yakin akan keberadaan Nyi Loro kidul tersebut. Karena dengan begitu rakyat juga mempercayai kedekatan raja dengan Nyi Loro Kidul. Wal hasil Masyarakat pun takut kepada raja. Karena kedekatannya dengan Ratu Laut Selatan itu.
Sampai saat banyak masyarakat yang mempercayai keberadaan Nyi Loro Kidul. Hal ini terbukti masih adanya kepercayaan akan pantangan-pantangan selama berada di daerah laut selatan. Di Pantai parangtritis misalnya, orang masih merasa ragu atau bahkan takut untuk memakai baju biru. Baju biru katanya dilarang dipakai di daerah ini. Bagi orang yang memakai baju biru akan dikejar ombak dan bisa jadi menjadi tumbal bagi Nyi Loro Kidul. Selain itu juga, setiap ada orang yang tenggelam di pantai laut selatan selalu dikaitkan dengan keberadaan Nyi Loro Kidul.
Dengan demikian, cerita Nyi Loro Kidul tidaklah sepatutnya kita percayai keberadaan sesungguhnya. Tetapi kita yakini sebagai karya sastra lisan yang sudah melekat di benak masyarakat pesisir pantai selatan. Hal ini juga terjadi pada karya sastra Siti Nurbaya yang diakui memiliki makam di daerah padang.
Benar tidaknya keberadaan Nyi Loro Kidul, cerita ini sudah demikian melekat di benak masyarakat. Kondisi ini pun sampai saat ini masih begitu melekat sehingga masih banyak yang mempercayai bahwa Ratu Kidul itu benar-benar ada sampai sekarang. Efek dari kepercayaan adanya ratu kidul ini, juga dapat dilihat dari cara pandang masyarakat terhadap raja-raja Yogyakarta dan Surakarta. Raja dianggap manusia setengah dewa sehingga tak seorangpun yang berani melanggar perintah raja.
Sebagai kesimpulan akhir dari tulisan ini, bahwa cerita yang dibuat oleh seseorang yang sampai sekarang tidak diketahui itu sebenarnya merupakan propaganda dari pihak kerajaan atau keraton untuk menakut-nakuti masyarakatnya. Meskipun kenyataannya sampai sekarang penduduk di sepanjang pantai selatan pulau Jawa masih mempercayai akan kebenaran cerita tentang Ratu Samudra Indonesia itu.